BAB I REVIEW
Keberadaan komunitas sektor informal pedagang kaki lima (PKL) merupakan realita perekonomian kota yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam prosses pembangunan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaannya bagai pisau bermata dua dimana terdapat sisi positif dan negatifnya. Salah satu sisi positifnya adalah bisa menyerap tenaga kerja, sedangkan salah satu sisi negatifnya adalah menyebabkan kesemrawutan tata kota.
Di kota Surakarta sendiri telah dialkukan penataaan keberadaan PKL salah satunya adalah dengan merelokasi PKL Banjarsari menjadi pedangang pasar di pasar Klithikan Notoharjo. Dengan berpindahnya lokasi komunitas PKL di tempat yang tetap maka akan terjadi pergantian status dari komunitas sektor informal menjadi komunitas sektor formal. Terjadinya perubahan tersebut sudah tentu menjadi kendala tersendiri bagi PKL dalam beradaptasi. Sebagaimana diketahui sektor informal dalam menjalankan usahanya memiliki kendala –kendala berupa 1) Keterbatasan modal, 2) rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya akses terhadap kebijakan pemerintah, informasi dan sarana ekonomi maupun sosial. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian kaji tindak (action riset) untuk mendappatkan model/strategi adaptasi komunitas PKL menjadi pedagang pasar.
Jurnal yang dibuat oleh penulis merupakan penelitian yang mana bertujuan untuk menyusun model pemberdayaan komunitas PKL, khususnya startegi adaptasi komunitas informal PKL menjadi pedagang pasar. Lebih spesifik lagi penelitian ini mengkaji tentang keberhasilan yang telah dicapai dan permasalahan yang turut mengikuti dalam proses penataan PKL di Kota Surakarta, mengkaji upaya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi PKL pasca relokasi di pasar Notoharjo Seamnggi Kota Surakarta, serta menyususn model pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan sektor informal PKL khususnya pasca relokasi. Dengan menggunakan metode penelitian Participation Action Research.
Keterbatasan yang dimiliki oleh PKL sudah tentu menjadi kendala bagi PKL dalam beradaptasi terhadap perubahan. Berdasarkan Roadmap penelitian “Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal PKL” paga gambar 1 terlihat bahwa penelitian merupakan penelitian lanjutan upaya pemberdayaan komunitas PKL. Penelitian ini berfungsi untuk mengevaluasi dan beruapaya mendapatkan model /strategi adaptasi komunitas PKL menjadi pedagang pasar agar komunitas tersebut menjadi lebih berdaya.
Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta tentang PKL adalah
1. Pembentukan Badan Khusus yang menangani PKL. Dimana sebelumnya PKL di kota Surakarta merupakan tanggung jawab Dinas Pengelola Pasar (DPP) Kota Surakarta. Dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada Perda no 8 tahun 1995 tentang penataann pedagang kaki lima dan keputusan walikota Surakrta no 2 tahun 2001 tentang Pedoman pelaksanaan peraturan perda no 8 tahun 1995.
2. Penataan dan Pembinaan PKL di Surakarta melebur menjadi Penataan dan Pembinaan PKL di Surakarta Pasca Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Baru : Melebur dengan Dinas Pengelola Pasar . Visi Dinas Pengelola Pasar memperbaiki Citra Pasar, meliputi: Kebersihan, Ketertiban, Keamanan dn Kenyamanan sebagai salah satu tumpuan perekonomian Kota Surakarta.
BAB II Pembahasan
Besarnya jumlah penduduk tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia sehingga seringkali terjadi kompetisi dalam mencari pekerjaan. Dahulu, tingkat pendidikan masih menjadi salah satu kunci sukses dalam mencari pekerjaan, tetapi seiring berjalannya waktu, banyak lembaga pendidikan yang menyediakan biaya pendidikan murah, beasiswa atau bahkan gratis, sehingga sekarang selain tingkat pendidikan faktor lain yang harus dimiliki adalah kompetensi (skill) yang mumpuni.
Permasalahannya adalah seringkali para pencari pekerjaan tidak memiliki kompetensi apapun atau hanya kompetensi yang rata – rata. Sehingga tidak sedikit para pencari pekerjaan tidak mendapatkan pekerjaan yang diinginkan dan berakibat dengan mencari pekerjaan yang tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau bahkan menganggur.
Besarnya desakan kebutuhan hidup dikarenakan semakin mahalnya kebutuhan sehari – hari menjadikan masyarakat mau tidak mau mencari jalan lain untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari – hari, hal ini dengan cara bekerja di sektor informal. Menurut Castells dan Portes Sector informal meliputi semua aktivitas yang menghasilkan pendapatan yang tidak diatur oleh negara. Sebagian besar pekerja informal, khususnya di perkotaan terserap ke dalam sektor perdagangan, di antaranya perdagangan jalanan atau kaki lima atau biasa dikenal dengan Pedagang kaki lima (PKL). Perdagangan jalanan telah menjadi sebuah alternatif pekerjaan yang cukup populer, terutama di kalangan kelompok miskin kota.
Wirosardjono (1976:25, dalam Kurniadi dan Hessel) menjelaskan bahwa konsep PKL memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memiliki pola kegiatan yang tidak teratur, baik dari segi waktu usaha, kepemilikan modal dan perolehan pendapatan
2. Kegiatannya tidak mendapatkan perlindungan hukum dari aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah
3. Kepemilikan terhadap modal, peralatan dan omset masih cenderung kecil dan berdasarkan perhitungan harian
4. Tidak memiliki lokasi usaha yang tetap atau tidak ada keterkaitan dengan usaha-usaha lain
5. Umumnya dilakukan oleh golongan masyarakat berpendapatan rendah dan untuk melayani masyarakat pada golongan yang sama
6. Tidak membutuhkan ketrampilan khusus untuk membuka usaha sehingga dapat menyerap berbagai jenis tingkatan tenaga kerja
7. Tiap usaha umumnya memperkerjakan tenaga yang sedikit , berasal dari keluarga atau teman
8. Tidak menggunakan sistem perbankan atau perkreditan.
Penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan merupakan dua dari berbagai masalah besar yang harus dicari jalan pemecahannya dalam pembangunan nasional. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, beberapa ahli dan pengamat ekonomi pembangunan menganjurkan perlunya perhatian pada pengembangan kegiatan ekonomi sektor informal di perkotaan ( Manning dan Effendi, 1985).
Langkah pertama yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta sudah dinilai tepat dengan membentuk badan khusus untuk menangani permasalahan PKL di Kota Surakarta. Dikarenakan permasalahan ekonomi sektor informal khususnya PKL merupakan permasalahan yang sangat kompleks yang perlu penanganan khusus pula. Dikatakan kompleks karena kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap PKL akan berdampak pada tingkat pendapatan, pengangguran, kesejahteraan masyarakat dan tata kota.
Para pekerja informal adalah mereka yang tidak tertampung dalam sektor formal. Mereka yang bekerja di sektor informal memilih menjadi PKL daripada tidak bekerja. Permasalahannya adalah tidak jarang para PKL berjualan pada tempat – tempat yang tidak seharusnya menjadi lokasi perdagangan seperti yang terjadi di Kota Surakarta yaitu lokasi Monumen 45 Banjarsari yang merupakan salah satu cagar budaya berupa monumen di Kota Surakarta berdasarkan Surat Keputusan Walikota Surakarta No. 646/116/1/1997. Monumen 45 Banjarsari adalah sebuah ruang publik kota yang digunakan sebagai tempat interaksi, relaksasi dan berolahraga oleh masyarakat Surakarta. Dengan demikian adanya PKL di Monumen 45 Banjarsari mengganggu tatanan kota yang telah ditentukan oleh pemerintah Kota Surakarta.
Untuk menangani permasalahan tersebut tindakan yang dilakukan Pemerintah sudah benar dimana pemerintah win – win solution. Yaitu berupa pemindahan para PKL menuju pasar Klithikan Notoharjo Surakarta. Dikatakan win – win solution karena Pemerintah tidak menambah beban jumlah pengangguran dan menertibkan para PKL yang berlokasi di Monumen 45 Banjarsari, sedangkan bagi PKL mereka mendapatkan keuntungan berupa bantuan pengiklanan, bantuan modal, pembinanan bagi PKL, bantuan lokasi baru beserta ijin usaha.
Bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Surakarta tersebut menjadikan faktor – faktor PKL sebagai pelaku usaha sektor informal hilang, sehingga bisa dikatakan bahwa para PKL ini statusnya telah berubah menajdi pelaku usaha sektor formal. Perubahan status ini tentunya sangat sulit dihadapi oleh para PKL. Sehingga tidak sedikit pedagang yang meninggalkan Pasar Klithikan Notoharjo bahkan menjual kiosnya kepada orang lain. Disinlah peran pendekatan komunitas. Pemberdayaan komunitas dalam upaya pengentasan kemiskinan umumnya dilihat dari pendapatan. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi yang baik dari Pemerintah dengan para PKL, sehingga permasalahan yang timbul akibat pemindahan lokasi berjualan dapat segera diselesaikan. Sehingga PKL tidak perlu menjual barang dagangannnya pinggir – pinggir jalan atau ditempat – tempat yang dilarang.
Keberhasilan atau kegagalaan implementasi dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata dalam meneruskan / mengoprasikan program –program yang dirancang sebelumnya. Keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program – program tersebut dengan tujuan – tujuan kebijakan. Grindel (1980 : 7 ) menjelaskan proses implementasi kebijakan negara beserta cara mengevaluasinya dengan diagram berikut :
Gambar 2 Implementasi sebagai Proses Politik dan Admisistrasi. Grindle (1980:7)
Dengan gambar tersebut Grindle (1980:7) menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan – tujuan dan sasaran – sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program – aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan – tujuan dan sasaran – sasaran tersebut. Dengan proses tersebut sehingga kemungkinan kegagalan pengimplementasian kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Surakarta dapat dikurangi.
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Permasalahan sektor Informal tidak bisa dipandang sebelah mata dikarenakan permasalahan sektor informal sangatlah kompleks. Karena adanya sektor informal dikarenakan adanya sektor informal dimulai dengan kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia, kurangnya kualitas SDM yang menyebabkan tingginya persaingan.
Dalam menyelesaikan masalah PKL baik dilakukan dengan dua arah yakni keterlibatan pihak PKL. Sehingga resiko masyarakat tidak akan melakukan pemberontakan kecil. Perlu pula dilakukan pendekatan sesuai kultur daerah masing – masing.
3.2 LESSON LERANED
Dalam menyelesaikan masalah PKL baik dilakukan dengan dua arah yakni keterlibatan pihak PKL yang bersangkutan. Sehingga resiko masyarakat tidak akan melakukan penolakan kecil. Perlu pula dilakukan pendekatan sesuai kultur daerah masing – masing.
Proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan – tujuan dan sasaran – sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program – aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan – tujuan dan sasaran – sasaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Utami, Trisni. 2009. Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Pedagang Kaki Lima (PKL) Suatu Alternatif Penanggulangan Kemiskinan. Universitas Sebelas Maret. Surabaya.
Rahmawati, Valentina, Kartikadan Patta, Johnny. . Penataan PKL di Kota Surakarta : MengapaBisa Berhasil ?. Jurnal Perencanan Wilayah dan Kota A SAPPK V4 N2. Bandung.
Sumarsono, Sonny. 2009. Teori dan Kebijakan Publik Ekonomi Sumber Daya Manusia. Graha Ilmu. Jember.
S, Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembanguanan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
0 comments:
Post a Comment